Tugas PTIK
Posted by : Wardanakun.blogspot.com
Selasa, 29 Juli 2014
Sepeda Untuk Shania
Aku berjalan menuju sekolahku. Pagi itu masih segar udaranya.
Beberapa teman melewatiku
dengan sepedanya. Aku
percepat langkahku. Setelah melewati sebuah supermarket berlabel
Tujuh11, aku bertemu
dengan seorang wanita memakai seragam yang sama dengan sekolahku.
Rambutnya panjang,
wajahnya manis
“Shania.” Sapaku pada
wanita itu.
“Hei…” Balas Shania.
“Shan, udah ngerjain
PR matematika?” Tanyaku.
“Baru selesai 13
nomer, abisnya susah.”
“Iya sih, MATEMATIKA,
Makin Tekun Makin Tidak Karuan ya, Shan.”
“Hahaha lucu banget
sih kamu.” Ucap Shania.
“Emanganya Badut,
lucu.” Balasku.
Aku dan Shania berjalan bersama. Kini aku dan Shania memasuki
gerbang sekolah. Aku
menghampiri
teman-temanku dikantin dan Shania menghampiri temannya di lorong sekolah. Bel
sekolah berbunyi. Aku
segera kekelasku yang dilantai dua.
Mentari sinari ruang kelas, hawa tepat tuk terbuai lamunan.
Melihat Shania yang duduk di
depanku, membuat rasa
ingin memanggil namanya. Ibu guru menyebut absen murid kelas.
“Shania Junianatha?”
Panggil ibu Guru. Aku dan Shania mengangkat tangan bersamaan.
“Aa.. A, a, azzeeekkk.
Yang dipanggil satu, yang nyaut, duaaaa.” Ledek Ochi.
“Sudah, sudah.” Bu
Guru menenangkan.
“Eh, Shan, maaf yah.”
Ucapku.
“Iyaa, gapapa kok.”
Balas Shania sambil tersenyum.
Pelajaran dimulai, Shania masih sesekali menoleh kebelakang
dan senyum padaku. Dan Ochi
pun juga meledek.
Bel istirahan berbunyi. Aku keluar dari mejaku, begitu juga
Shania. Saat aku berjalan, aku
sempat menabrak ia
yang didepanku. Ia membalikkan badannya dan tersenyum. Ah, kenapa harus
tersenyum padaku?
Membuat aku ingin mimisan saja melihat senyumnya yang manis.
Kantin siang itu cukup ramai. Aku duduk bersama
teman-temanku didekat tembok. Shania
duduk dengan Ochi di
tengah. Dari tempat dudukku, masih bisa terdengar suara Ochi dan Shania.
“Ochi makan Mie,
Shania makan ayam, jadi Mie-Ayam.” Ucap Ochi.
“Terus, Chi?” Tanya
Shania
“Jadi kita samaan.
Toss!” Ochi menepuk tangan Shania.
“Dasar singit, Ochi..
Ochi..” Ucap Shania.
“Emang layangan koang,
singit.” Balas Ochi.
Saat Shania sedang mengambil kecap, Ochi mencolek Shania.
“Shan, mau liat orang
gila gak?” Tanya Ochi.
“Siapa?”
“Tuh.” Ochi menunjuk
kearahku.
Shania melambaikan tangan ke arahku. Senang bukan main pastinya diriku.
Shania
melanjutkan senyumnya,
ia kemudian menunjuk tangannya ke arah gelasku. Ah, pantas saja Ochi
bilang aku orang gila,
ternyata aku memasukkan saos ke gelas es jerukku. Shania dan Ochi masih
mentertawaiku.
Setelah jam pelajaran terakhir, aku dan murid-murid sekolah berkerumunan
keluar sekolah.
Saat aku sedang
berjalan, dari belakang, temanku menepuk pundakku.
“Sepedanya udah ada
tuh.” Ucap temanku.
“Mana?” Tanyaku.
“Dibelakang sekolah,
kok tumben sih pengen naik sepeda?”
“Gapapa, biar ada
kenangannya aja.”
Aku dan temanku ke halaman sekolah untuk mengambil sepedanya. Aku
cek rantai dan rem
sepeda itu. Setelah
kuperiksa aman, aku bawa sepeda itu.
Ku kayuh sepeda itu. Rasanya cukup nyaman. Di ujung jalan kulihat
ada Shania.
“Shan..” Panggilku.
“Eh, itu sepeda
siapa?”
“Bareng yuk, mau gak?”
“Hem , tapi…”
“Tapi kan Shania kalo
jalan kaki capek, yuk.” Ajakku.
Shania duduk dibelakang dengan posisi miring. Ia memangku tasnya.
Aku terus mengayuh
sepedaku.
Sampai sudah dirumah
Shania.
“Makasih yah.” Ucap
Shania sambil tersenyum.
“Iya sama-sama, eh,
Shan.”
“Ya?”
“Kalo besok pagi,
bareng lagi kesekolah, terus pulangnya temenin ke toko buku mau gak?
Tanyaku.
“Hem… Mau sih. Besok
pagi ketemu dimana?”
“Didepan rumahmu,
gimana?”
“Oke, sampai besok
yah.”
Aku hanya membalas senyum manis Shania dan pergi dari rumahnya.
Shania masuk ke dalam
pagar dan melambaikan
tangannya padaku.
*
Pagi itu masih terasa sejuk. Aku sudah tiba didepan rumah Shania.
Ia sudah berdiri sambil
memakai cardigans
berwarna biru. Ia tersenyum dan langsung duduk di bagian belakang sepeda.
Perjalanan sepeda pagi
cukup menarik, mulai membahas PR Bahasa Indonesia.
“Shan, udah ngerjain
PR bikin cerpen?” Tanyaku.
“Udah dong, judulnya
Sepeda Untuk Berdua, kamu?” Tanya Shania.
“Udah, judulnya Hari
Pertama.” Jawabku.
“Hihihi.” Shania
tertawa lucu.
“Kok ketawa?”
“Iya, kalo cerpen kita
berdua digabung, Hari Pertama Sepeda Untuk Berdua, itukan kemarin.”
Aku merasa sangat senang saat Shania bicara seperti itu. Semua
terasa sangat indah, seolah
dunia hanya milik
berdua, sampai akhirnya….
“Azzeeekkk… Sepedaan
berdua.” Ochi datang dari belakang naik ojek motor.
“Duh, Ochi.” Ucapku
pelan.
“Apa lu? Duh aduh, emangnya
Ochi kenapa?” Tanya Ochi.
“Kayak yang malem
Jumat, masa tiba-tiba nongol.” Jawab Shania.
“Ciee, Ochi naik ojek
motor, kalo Shania naik ojek cinta, dadaaahh.” Balas Ochi.
Ochi dan ojeknya langsung melaju cepat setelah meledek aku dan
Shania.
Kini gerbang sekolah
telah terlihat, Shania turun dari sepeda dan masuk duluan. Aku menaru
sepdeda dan merantai
dan gembok dekat pagar halaman sekolah.
*
Pulang sekolah ditandai dengan bel. Shania menungguku di
depan sekolah. Aku mengeluarkan
sepda dan kami naiki
sepeda itu berdua.
Aku dan Shania menuju toko buku dekat komplek rumah kami.
Sesampainya, aku langsung menuju rak buku mancanegara, dan
mengambil buku berjudul
Australia. Setelah
kubaca beberapa halaman, aku kembali menghampiri Shania.
“Beli buku nggak,
Shan?” Tanyaku.
“Enggak, liat majalah
aja, kamu?”
“Tadi Cuma mau baca
buku doang bentar, eh makan yuk.”
“Dimana?”
“Udah ntar pasti
suka.”
Di sebrang toko buku itu ada sebuah cafe kecil. Di cafe itu
tertuliskan “Warung Pemadam
Kelaparan”. Aku dan
Shania duduk di depan dekat jalanan. Angin sore mulai terasa.
“Mau makan apa, Shan?”
Tanyaku
“Hem disini yang
spesial apa?”
“Kalo yang spesial
disini, tumis kaktus, kucing saus tiram, tapi kalo yang spesial dihatiku ya
kamu.”
“Gombal.” Balas Shania
sambil tertawa.
“Gombal mah yang
dipinggir jalan.” Balasku.
*
Sore mulai menyapa, aku dan Shania masih bersepeda. Saat
bersepeda menuju jalan pulang,
ada sebuah turunan
yang curam di depanku.
“Shan, berani gak?”
Tanyaku.
“Turunan doang? Berani
lah.”
“Tapi gak pake rem.”
“Terus berentinya
gimana?”
“Detak jantung kita
yang berentiin.”
“Mati iyadeh.”
“Berani gak, Shan?”
“Siapa takut.” Balas
Shania sambil memelukku.
Aku hanya mendorong sedikit sepedaku dan sepeda melaju
kencang, kurasa angin
menghembus kemejaku.
Pelukan Shania dari belakang makin erat. Aku merasakannya. Kami berdua
berteriak.
Saat sampai diujung turunan, aku menekan rem. Aku dan
Shania masih mengatur nafas karena
sepeda kami terlalu
kencang tadi. Shania turun dari belakang sepeda dan berdiri di sebelahku.
“Hah, gila, tegang
banget yah.” Ucap Shania.
“Iya, Shan.” Balasku.
“Itu hidungnya
kenapa?”
“Ha?” Aku memegang
hidungku dan ada cairan berwarna merah.
“Ih, kok mimsan, nih
tissue.” Shania memberikan tissue padaku.
“Yah, mimisan deh.”
Jawabku sambil mengelap darah dihidung.
“Iya, kok bisa deh?”
“Abisnya, tadi Shania
meluknya kenceng banget.”
“Terus?”
“Terus, akunya seneng
banget.”
“Ih… Bodoh deh.” Balas
Shania sambil mencubiti aku.
Kami berdua jalan
bersama sambil menenteng sepeda dan bergandengan tangan sore itu.
*
Suasana kelas kosong pagi itu cukup ramai. Aku di depan
pintu kelas bersama teman-temanku,
Ochi yang sedang duduk
sendiri dikursinya, dihampiri Shania.
“Ochi, mau curhat
dong.” Minta Shania.
“Azeeekk, pasti
curhatin pria ojek cinta itu kan?”
“Apaan sih, eh tapi
ya, kemarin tuh seru banget gue sama dia, makan bareng, pulang bareng.”
“Cie Shania jatuh
cinta.” Ledek Ochi.
“Ah, mungkin bagi
dirinya hanya teman sekelas saja, yang jalan pulangnya searah.” Lanjut Shania.
“Keberadaannya seperti
angin ya? Kayak numpang lewat gitu?”
“Iya, Chi. Kadang
selalu bercanda, padahal kita selalu saling bicara.” Lanjut Shania.
“Kenapa gak ngomong
aja?” Tawar Ochi.
“Ngomong apa?”
“Ngomong ke dia,
tentang perasaannya Shania, daripada nyesel.” Tantang Ochi ke Shania.
“Gak tau deh, Chi.
Bingung.” Jawab Shania.
*
Aku menenteng sepedaku, Shania berjalan di sebelahku. Pagar
rumah Shania terlihat. Aku
berdiri di depan
rumahnya.
“Shan, boleh minta
tolong gak?”
“Apa?”
“Sepeda ini besok kamu
yang bawa yah kesekolah.”
“Lho, kenapa?”
“Gapapa sih, besok
kayaknya aku telat, mau ya?”
“Yaudah deh, mampir
gak?” Tawar Shania.
Ini adalah kali pertama Shania menawari aku untuk mampir
kerumahnya. Aku mengiyakan
ajakannya.
Aku duduk diteras , Shania keluar dari dalam rumah membawakan
sirup berwarna merah dan
makanan kecil.
“Shan, enak yah
sore-sore disini, hehe.” Ucapku.
“Enak pemandangannya,
apa sama aku?” Tanya Shania.
“Hem.. Pemandangan
indah, bisa tambah indah tergantung sama siapa nikmatinnya.”
“Emang kenapa sih sama
sepedanya?” Tanya Shania.
“Gapapa, pokoknya
besok Shania bawa yah ke sekolah.”
Setelah menghabiskan minum, aku pamit pada Shania untuk
pulang. Kebetulan orang tua
Shania sedang tidak
dirumah, jadi aku tidak berpamitan pada mereka.
Aku keluar pagar dan
masih tersenyum pada Shania.
Saat Shania sedang melihat sepeda itu, ia menemukan
sepucuk surat yang terselip di kursi
belakang, di surat itu
tertulis, “baca dikelas yah, Shania.”
*
Shania mengayuh sepeda itu sendirian menuju sekolah, tanpa
diriku. Sesampainya dikelas, ia
membuka surat itu.
Dibacanya surat dengan tulisan tanganku.
Shania, maaf aku gak
bisa ngomong langsung.
Sepedanya gimana? Enak
kan?
Hem… Maaf, mulai
semalam aku pindah ke Australia.
Aku minta maaf banget
sama kamu, aku gak bisa ngomong langsung, aku benci perpisahan.
Aku harap kamu bisa
ngerti, Shan.
Aku nyaman kalo ada di
dekat kamu, berdua sama kamu.
Maafkanlah Shania,
ampunilah diriku ini yang tidak menyatakan cinta, aku adalah lelaki yang jahat.
Aku gak kemana-mana
kok, cuma beda jarak aja sama kamu, sepeda itu tetep ada buat kamu.
Kalo kamu baca surat
ini, kamu pasti udah nyobain rasanya naik sepeda itu tanpa aku.
Aku harap kamu betah
naik sepeda itu, sampai… two years later, pas aku balik, buat kamu
Shania meneteskan air mata saat membaca surat itu. Lalu ia
menengok ke belakang, tempat
dimana aku biasa duduk
di kelas. Ochi yang heran melihat Shania bersedih, langsung segera
menghampiri ke meja
Shania.
Shania tidak berkata sedikitpun saat Ochi menghampirinya,
Ochi mengambil surat di tangan
Shania, lalu
membacanya. Ochi menengok ke meja belakang, lalu tersenyum.
***
Edited By : @Velodiest